Salah satu harapan terbesar orang tua adalah punya hubungan yang dekat dan terbuka dengan anak. Ingin rasanya anak bercerita sendiri tentang hari-harinya, perasaannya, bahkan hal-hal yang membuatnya bingung atau sedih. Tapi kenyataannya, banyak anak justru memilih diam, menjawab singkat, atau menghindari obrolan. Kenapa ini bisa terjadi?
Bisa jadi, tanpa sadar, cara kita berkomunikasi justru membuat anak merasa tidak nyaman untuk terbuka. Maka penting bagi orang tua untuk memahami bagaimana membangun komunikasi yang membuat anak merasa aman untuk bercerita.
Kenapa Anak Bisa Menutup Diri?
Sebelum bicara soal solusinya, kita perlu peka dulu dengan penyebab umum kenapa anak enggan terbuka:
Takut dimarahi atau dihakimi
Pernah merasa diabaikan atau tidak didengarkan
Merasa apa yang mereka rasakan dianggap sepele
Terbiasa menerima nasihat atau solusi tanpa diminta
Suasana rumah yang terlalu sibuk atau tegang
Anak bukan tidak mau bicara—tapi mereka perlu merasa bahwa apa yang mereka katakan akan disambut dengan aman.
Cara Bicara yang Membuka Ruang untuk Anak
1. Tunjukkan bahwa kita benar-benar hadir
Saat anak mulai bicara, hentikan aktivitas sejenak dan beri perhatian penuh. Hal sederhana seperti kontak mata, posisi tubuh yang menghadap anak, dan ekspresi wajah yang hangat membuat anak merasa dihargai.
“Ceritain dong, Ibu penasaran banget sama harimu tadi.”
Bukan sekadar pertanyaan basa-basi, tapi undangan tulus untuk berbagi.
2. Jangan buru-buru menyela atau memberi solusi
Kadang kita terlalu cepat menyimpulkan atau memberi saran. Padahal anak belum tentu butuh solusi—mereka ingin didengarkan dulu.
Gantilah “Kamu harusnya tadi begini…” dengan “Waktu itu kamu ngerasa gimana?”
Tanya dulu, dengarkan, baru tanggapi jika diminta.
3. Validasi perasaan anak, sekecil apa pun
Kalimat seperti, “Ah, gitu aja kok sedih,” bisa membuat anak menutup diri. Sebaliknya, validasi membantu anak merasa dimengerti.
“Wajar kok kamu sebel kalau mainannya rusak. Ibu juga bakal kesal kalau gitu.”
Dengan begini, anak belajar bahwa perasaannya penting dan diterima.
4. Gunakan pertanyaan terbuka
Hindari pertanyaan yang bisa dijawab “iya” atau “nggak”. Gunakan pertanyaan terbuka yang mendorong anak untuk menjelaskan lebih lanjut:
“Apa hal paling seru yang terjadi hari ini?”
“Kalau kamu bisa ulang kejadian tadi, kamu mau ngapain beda?”
“Kamu ngerasa gimana waktu itu?”
Pertanyaan seperti ini mengajak anak untuk refleksi, bukan interogasi.
5. Bangun kebiasaan ngobrol tanpa tekanan
Obrolan berkualitas tidak selalu harus serius. Kadang, justru momen santai saat makan malam, sebelum tidur, atau di perjalanan bisa jadi waktu terbaik untuk anak terbuka.
Ciptakan suasana di mana ngobrol dengan orang tua jadi hal yang menyenangkan, bukan menegangkan.
6. Jangan pakai ancaman atau sindiran saat anak cerita
Kalimat seperti “Makanya jangan aneh-aneh!” atau “Pantas aja kamu dimarahin!” membuat anak merasa dihakimi. Ini bisa membuat mereka menutup diri dan takut jujur di lain waktu.
Menjadi Tempat Aman untuk Anak
Tujuan dari komunikasi bukan sekadar mendapat informasi, tapi membangun koneksi. Saat anak merasa bahwa orang tuanya adalah tempat aman untuk mengekspresikan diri, mereka akan lebih mudah terbuka, bahkan di masa remaja nanti.
Anak-anak yang terbiasa didengar, dihargai, dan diterima cenderung tumbuh dengan rasa percaya diri yang lebih kuat dan hubungan yang lebih sehat dengan orang tuanya.
Kesimpulan
Membuat anak mau terbuka bukan soal teknik bicara yang rumit, tapi soal menghadirkan diri dengan tulus dan penuh empati. Semakin kita mengasah cara bicara yang hangat dan penuh penerimaan, semakin besar kemungkinan anak merasa, “Aku bisa cerita apa pun ke orang tuaku, tanpa takut dihakimi.”
Dan dari sinilah, hubungan yang kokoh dan saling percaya itu tumbuh.