Pernahkah anak menangis, marah, atau cemas, lalu kita buru-buru menenangkan dengan berkata, “Udah, nggak usah nangis,” atau “Gitu aja kok sedih”? Meski maksudnya baik, respons seperti ini justru bisa membuat anak merasa tidak dimengerti. Di sinilah pentingnya emotional validation, atau memvalidasi emosi anak.
Apa Itu Emotional Validation?
Emotional validation adalah proses mengakui dan menerima perasaan seseorang, tanpa menghakimi atau meremehkan. Dalam konteks parenting, ini berarti menunjukkan pada anak bahwa emosi mereka—apapun itu—bernilai dan wajar untuk dirasakan.
Validasi bukan berarti kita setuju dengan perilaku anak, tapi kita memahami perasaannya terlebih dahulu sebelum menanggapi. Contoh sederhananya:
“Kamu marah karena mainannya rusak, ya? Wajar kok merasa kesal kalau mainan kesayangan rusak.”
Dengan begitu, anak belajar bahwa perasaannya itu sah, dan dia tidak salah karena merasa sedih, kecewa, atau marah.
Kenapa Anak Perlu Merasakan Emotional Validation?
Membantu Anak Memahami dan Mengatur Emosi
Ketika anak tahu bahwa emosi mereka diterima, mereka lebih mudah mengidentifikasi dan menamai perasaannya. Ini adalah langkah awal dari kecerdasan emosional. Anak yang terbiasa divalidasi lebih mampu mengelola emosi secara sehat di kemudian hari.Mengurangi Ledakan Emosi
Anak yang merasa dipahami cenderung lebih tenang dan kooperatif. Sering kali, tantrum atau ledakan emosi muncul bukan karena hal sepele, tapi karena mereka merasa tidak didengar atau dimengerti.Membangun Hubungan yang Aman dan Dekat
Validasi membuat anak merasa aman secara emosional. Mereka tahu bahwa orang tuanya bisa menerima perasaannya, bahkan di saat-saat sulit. Ini memperkuat ikatan emosional antara anak dan orang tua.Menghindari Pola Toxic Positivity
Ucapan seperti “Kamu harus selalu bahagia” atau “Jangan sedih terus dong” bisa membuat anak menekan emosinya. Padahal, semua emosi—termasuk yang tidak nyaman—perlu diakui dan diproses, bukan disangkal.
Tanda Anak Tidak Pernah Mendapat Validasi Emosi
Sering berkata, “Aku nggak tahu kenapa aku marah/sedih”
Cenderung menutup diri dan sulit cerita ke orang tua
Terlihat bingung atau malu saat menunjukkan perasaan
Mudah merasa bersalah saat menunjukkan emosi negatif
Bagaimana Cara Memberikan Emotional Validation ke Anak?
Dengarkan dengan Penuh Perhatian
Tinggalkan sejenak gawai atau pekerjaan ketika anak bicara. Kontak mata, bahasa tubuh terbuka, dan kesediaan mendengar tanpa menyela adalah bentuk penghargaan emosional.Berempati dan Coba Rasakan Dunia dari Sudut Pandang Anak
Alih-alih langsung memberi solusi, coba pahami dulu: “Pasti sedih banget ya waktu dimarahin teman.” Kalimat seperti ini membuat anak merasa dimengerti.Gunakan Kata-kata yang Mengakui Perasaan Anak
Contoh: “Ibu tahu kamu kecewa karena gagal,” atau “Nggak enak ya rasanya kalau ditinggal?” Kata-kata ini menguatkan bahwa perasaan anak valid.Jangan Terburu-buru Memperbaiki atau Menyemangati
Kalimat seperti “Ayo semangat, jangan cengeng” bisa membuat anak merasa ditekan untuk cepat pulih. Lebih baik, beri waktu anak untuk merasakan dulu emosinya.Bantu Anak Menamai Emosi
Kadang anak hanya tahu dia “nggak enak”, tapi belum bisa menyebutkan apakah itu marah, kesal, malu, atau takut. Bantu anak dengan bertanya lembut, “Kamu lagi merasa kecewa, ya?”
Anak tidak perlu diburu-buru untuk “bahagia kembali”. Yang mereka butuhkan adalah perasaan bahwa apa yang mereka alami bisa dimengerti, diterima, dan aman untuk dirasakan. Emotional validation bukan hanya soal respons, tapi soal sikap yang memberi ruang untuk anak menjadi manusia seutuhnya—dengan emosi yang naik turun, tanpa takut dinilai berlebihan.
Dengan menjadi orang tua yang mampu memvalidasi emosi, kita sedang membangun pondasi kepercayaan, kepekaan emosional, dan kesehatan mental anak dalam jangka panjang.